LUWU TIMUR - Rapat gabungan komisi DPRD Luwu Timur yang berlangsung di Ruang Aspirasi DPRD pada Senin (21/7/25), menyoroti sejumlah kendala mendasar yang menghambat realisasi investasi di kawasan industri Malili.
Persoalan mulai dari belum rampungnya dokumen AMDAL, keterlambatan perizinan, hingga status lahan yang masih bermasalah menjadi pokok pembahasan dalam rapat tersebut.
Dipimpin oleh Anggota DPRD Lutim, Sarkawi Hamid, rapat ini menekankan pentingnya percepatan operasional kawasan industri guna mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Kami mendorong para investor agar segera menyelesaikan tahapan investasinya. Pemerintah pusat dan daerah juga harus membuka akses kemudahan perizinan, namun tetap menjalin komunikasi yang baik dengan pemilik lahan agar tidak memicu konflik di masa mendatang,” tegas Sarkawi.
Ia juga menambahkan bahwa keberpihakan kepada tenaga kerja lokal wajib menjadi prioritas. Selain itu, percepatan pembangunan Mal Pelayanan Publik (MPP) di area strategis turut didorong untuk memperkuat sistem layanan investasi.
Sementara itu, Asisten Pemerintahan dan Kesra Setda Lutim, Aini Endis Enrika, memaparkan bahwa sampai saat ini belum ada kegiatan nyata di lapangan karena izin-izin inti belum tuntas.
“Sudah ada MoU dengan sejumlah perusahaan, tapi belum bisa bergerak karena AMDAL dan izin lingkungan lainnya masih dalam proses. Koordinasi dengan BPN juga harus diperkuat untuk mencegah sengketa lahan ke depan,” jelas Enrika.
Ia juga menegaskan bahwa lahan seluas 394,5 hektare yang bersertifikat HPL sejak 2014 adalah milik Pemda dan harus dimanfaatkan oleh investor yang benar-benar berkomitmen.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota DPRD Muhammad Nur mengingatkan bahwa investasi yang masuk ke Luwu Timur harus menjunjung tinggi nilai keadilan, kesetaraan, dan menghormati kearifan lokal.
“Semua investor berhak mendapatkan perlakuan yang sama, tetapi mereka juga punya kewajiban menghargai budaya dan masyarakat lokal. Jangan cuma bawa modal, tapi tak peduli dengan lingkungan sekitar,” ujar Nur.
Senada dengan itu, Rusdi Layong, anggota DPRD lainnya, menyoroti perusahaan yang masa izinnya hampir habis namun belum menunjukkan perkembangan berarti. Ia menegaskan perlunya kepastian hukum agar dampak investasi benar-benar terasa oleh masyarakat.
Dari pihak investor, PT Indonesia Huadi Industrial Park (IHIP) menyampaikan bahwa proses izin masih berlangsung karena menunggu dokumen RKKPN disahkan pada November 2024. Perusahaan menargetkan aktivitas industri dapat dimulai pada akhir 2026 atau awal 2027.
“Kami bukan penambang langsung, melainkan membangun kawasan hilirisasi. Proses AMDAL sendiri bisa memakan waktu enam bulan. Setelah itu, barulah perizinan lainnya menyusul,” terang perwakilan IHIP.
Sementara itu, PT Kawasan Industri Terpadu Luwu Timur (KIT-LT) melaporkan bahwa mereka telah menguasai 1.200 dari total 2.200 hektare lahan yang ditargetkan, dan pemilik lahan sisanya pun telah menyatakan kesediaan menjual.
“Kami adalah investor lokal yang ingin membangun tanah kelahiran sendiri. Begitu perizinan rampung, pembangunan smelter akan segera dimulai,” ucap perwakilan KIT-LT dengan optimisme.
PT KIPLT juga turut menegaskan komitmennya untuk berinvestasi jangka panjang dan tengah melengkapi seluruh dokumen perizinan yang disyaratkan pemerintah.
Rapat ditutup dengan seruan agar seluruh pihak baik pemerintah, investor, maupun masyarakat, bersinergi mendukung kelancaran proses investasi dengan tetap menjunjung asas keadilan, hukum, dan keberpihakan kepada masyarakat lokal. (*)